Al Kindi
Menurut
Al Kindi jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari
substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan
Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak
aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang
berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa
memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah
asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3.
jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di
badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang
sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan
langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas
bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya.
Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia
akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan
seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam
akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di
bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia,
jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan
sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang
dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan
akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Ia
juga mengemukakan bahwa jiwa tidak tersusun, namun mempunyai arti
penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa berasal dari Tuhan.
Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari
tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh
tertidur, ia tidak menggunakan indera-inderanya. Dan bila disucikan, ruh
dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara
dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Argumen
yang dikemukakan AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah
bahwa ruh menentang keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah. Dengan
demikian jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang,
Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato
daripada Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baru,
karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa tinggal tanpa
materi, keduanya membentuk satu kesatuan esensial, dan kemusnahan badan
membawa pada kemusnahan jiwa. Jiwa atau ruh selama berada dalam badan
tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya
tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, ruh akan memperoleh
kesenangan yang hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah
dengan badan, ruh pergi ke Alam Kebenran atau Alam Akal di atas
bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan
dan dapat “melihat” Tuhan. Di sinilah letak kesenangan abadi dari ruh.
Di
sini terlihat bahwa AI-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum
terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh
keselamatan dan naik ke Alam Akal. Kendatipun bagi AI-Kindi jiwa adalah
qadim, namun kegaoYmannya berbeda dengan qaoYmnya Tuhan. Qa-dimnya jiwa
karena diqaoYmkan oleh Tuhan.
Ibn Sina
Pemikiran
ibnu sina tentag jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat
wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya
jika ditinjau dari hakekat dirinya ataunecessary by virtual of the necessary being and possible in essence.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya
sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal – akal dari pemikiran tentang
dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa – jiwa dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia
sebagaimana jiwa – jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah
Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi – segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
- Segi fisika yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan – kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain – lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
- Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
- Jiwa tumbuh – tumbuhan dengan daya – daya : makan, tumbuh, berkembang biak.
- Jiwa binatang dengan daya – daya : gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal – hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
- Jiwa
manusia dengan daya – daya : Praktis yang hubungannya dengan
badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal abstrak. Daya ini
mempunyai tingkatan :
- Akal materil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
- Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
- Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
- Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat
seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh –
tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang
itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan
dekat dengan kesempurnaan.
Menurut
Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta
tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia
ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan
dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya
sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada
permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat
berfikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar