Filsafat
al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah.
Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula,
tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim
hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada
yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang,
antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti
al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti
menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof
berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak
akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’
berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal,
yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
pertama
yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi
menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya
Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari
“tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya).
Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada
hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai
baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial
al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir
sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru
al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut
al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu
Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat
paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai
sufi.[6]
Kedua,
mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa
pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul
dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa
kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera,
sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711).
Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang
karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan
juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang
pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab,
sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum
filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan
tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut
al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk
menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.[7]
Ketiga,
tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak
percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran.
Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut
hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan
jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut,
hal. 873-874).
Di
pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam
Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai
tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini
kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat
kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan
jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal.
16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’
ulama.
Tiga
pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya
Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof
lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan
pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan
membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus
menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali
di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa
Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan
pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti
Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al
Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif
terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad
(kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat,
yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti
penyatuan dengan-Nya :