Sabtu, 28 Juli 2012

Filsafat, Pola Pemikiran Dan Ajarannya Imam Al-Ghozali


Filsafat al-Ghazali dalam menolak pendapat filosof tentang bebarapa masalah. Pertama; masalah qadim-nya alam, bahwa tercipta dengan tidak bermula, tidak pernah tidak ada di masa lampau. Bagi al-Ghazali yang qadim hanyalah Tuhan. Selain Tuhan haruslah hadits (baru). Karena bila ada yang qadim selain Tuhan, dapat menimbulkan paham:
1. Banyaknya yang qadim atau banyaknya Tuhan; ini syirik dan dosa besar  yang tidak diampuni Tuhan; atau
2. Ateisme; alam yang qadim tidak perlu kepada pencipta.
Memang, antara kaum teolog dan filosof terdapat perbedaan tentang arti al-ihdats dan qadim. Bagi kaum teolog al-ihdats mengandung arti menciptakan dari “tiada” (creatio ex nihilo), sedang bagi kaum filosof berarti menciptakan dari “ada”. Kata Ibnu Rusyd, ‘adam (tiada) tidak akan bisa berubah menjadi wujud (ada). Yang terjadi adalah “wujud’ berubah menjadi “wujud” dalam bentuk lain. Oleh karena itu, materi asal, yang dari padanya alam disusun, mesti qadim. Dan materi.[5]
pertama yang qadim ini berasal dari Tuhan melalui al-faidh (pancaran). Tetapi menurut al-Ghazali, penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya Pencipta. Oleh sebeb itu, alam pasti “baru” (hadits) dan diciptakan dari “tiada”. (al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hal. 9 dan seterusnya). Dalam pemikiran al-Ghazali, sewaktu Tuhan menciptakan alam, yang ada hanyalah Tuhan. Disinilah Sulaiman Dunianya mencacat al-Ghazali sebagai baina al-falasifah wa al-mutakallimin, karena secara substansial al-Ghazali berfikir sebagai teolog, tetapi secara instrumental berfikir sebagai filosof. Tetapi, karena itu juga, di lain pihak justru al-Ghazali dinilai “kacau” cara berfikirnya oleh Ibn Rusyd (Tahafut al-Tahafut). Apalagi tampak jelas kekacauan al-Ghazali itu, kata Ibnu Rusyd, ketika berbicara tentang kebangkitan jasmani yang terlihat paradoksal antara al-Ghazali sebagai teolog dan filosof dan sebagai sufi.[6]
Kedua, mengenai Tuhan tidak mengetahui juz`iyyat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pertentangan antara al-Ghazali dan para filosof tentang hal ini timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Jelas bahwa kekhususan (juz`iyyat) diketahui manusia melalui panca indera, sedangkan keumuman (kulliyah) melalui akal. (Baca Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, ed. Sulaiman Dunya, Cairo, Dar al-Maarif, 1964, hal. 711). Penjelasan Ibnu Rusyd selanjutnya: Tuhan bersifat immateri yang karenanya tidak terdapat panca indera bagi Tuhan untuk pengetahuan juz`iyyat. Selanjutnya, pengetahuan Tuhan bersifat qadim, sedang pengetahuan manusia bersifat baru. Pengetahuan Tuhan adalah sebab, sedang pengetahuan manusia tentang kekhususan adalah akibat. Kaum filosof, kata Ibnu Rusyd, tidak mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan tentang alam bersifat juz`i atau pun kulli. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 702-703). Begitulah tanggapan Ibnu Rusyd untuk menanggapi pendapat al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu.[7]
Ketiga, tentang kebangkitan jasmani. Kritik al-Ghazali bahwa para filosof tidak percaya adanya kebangkitan jasmani, menurut Ibnu Rusyd salah sasaran. Yang benar, kata Ibnu Rusyd, bahwa para filosof tidak menyebut-nyebut hal itu. Ada tulisan mereka yang menjelaskan tidak adanya kebangkitan jasmani dan ada pula yang sebaliknya. (Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal. 873-874).
Di pihak lain, Ibnu Rusyd menuduh bahwa apa yang ditulis al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah bertentangan dengan apa yang ditulisnya mengenai tasawwuf. Dalam buku pertama (hal. 28, dst) semua orang Islam menyakini kebangkitan jasmani. Sedang dalam buku kedua ia mengatakan, pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah kebangkitan rohani dan bukan kebangkitan jasmani tidak dapat dikafirkan (Baca Ibnu Rusyd, Fash al-Maqal, hal. 16-17). Padahal al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya kepada ijma’ ulama.
Tiga pemikiran itulah yang menjadi bahasan utama al-Ghazali dalam kitabnya Tahfut al-Falasifah, dan selanjutnya ia mengkafirkan para filosof lantaran pendapat mereka tentang tiga hal tersebut berbeda dengan pemikirannya. Tindakan pengkafiran inilah yang dianggap mempengaruhi dan membuat orang Islam enggan bahkan takut mempelajari filsafat, dus menjadi biang kemunduran pemikiran di kalangan umat Islam.
AjaranTasawuf-Al-Ghazali di dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi ditambah dengan doktrin Ahlu Al Sunnah wa Al-jama’ah. Corak tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral yang dapat di lihat dalam karya-karyanya seperti Ihya’ullum, Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin, Mizan Al-Amal, Bidayah Al Hidayah, M’raj Al Salikin, Ayyuhal Wlad. Al Ghazali menilai negatif terhadap syathahat dan ia sangat menolak paham hulul dan utihad (kesatuan wujud), untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya :

JIWA DALAM PEMIKIRAN AL KINDI & IBNU SINA

Al Kindi

Menurut Al Kindi jiwa tidak tersusun, substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa dan badan bercorak aksidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah), 2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa berakal (al-quwwah al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor, ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan, jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya.
Ia juga mengemukakan bahwa jiwa tidak tersusun, namun mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansi jiwa berasal dari Tuhan. Hubungan jiwa dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, llahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Jiwa atau ruh tidak pernah tidur, hanya saja ketika tubuh tertidur, ia tidak menggunakan indera-inderanya. Dan bila disucikan, ruh dapat melihat mimpi-mimpi luar biasa dalam tidur dan dapat berbicara dengan ruh-ruh lain yang telah terpisah dari tubuh-tubuh mereka. Argumen yang dikemukakan AI-Kindi tentang perbedaan ruh dengan badan adalah bahwa ruh menentang keinginan hawa nafsu dan sifat pemarah. Dengan demikian jelas bahwa yang melarang tidak sama dengan yang dilarang, Dengan pendapat Al-Kindi tersebut, ia lebih dekat kepada pemikiran Plato daripada Aristoteles. Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah baru, karena jiwa adalah form bagi badan. Form tidak bisa tinggal tanpa materi, keduanya membentuk satu kesatuan esensial, dan kemusnahan badan membawa pada kemusnahan jiwa. Jiwa atau ruh selama berada dalam badan tidak akan memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, ruh akan memperoleh kesenangan yang hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah berpisah dengan badan, ruh pergi ke Alam Kebenran atau Alam Akal di atas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat “melihat” Tuhan. Di sinilah letak kesenangan abadi dari ruh.
Di sini terlihat bahwa AI-Kindi tidak percaya pada kekekalan hukum terhadap jiwa, tetapi meyakini bahwa pada akhirnya jiwa akan memperoleh keselamatan dan naik ke Alam Akal. Kendatipun bagi AI-Kindi jiwa adalah qadim, namun kegaoYmannya berbeda dengan qaoYmnya Tuhan. Qa-dimnya jiwa karena diqaoYmkan oleh Tuhan.
Ibn Sina
Pemikiran ibnu sina tentag jiwa bersumber pada pemikirannya tentang akal pertama. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya ataunecessary by virtual of the necessary being and possible in essence. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal  – akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa – jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa – jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.
Segi – segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
  1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam – macam jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan – kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain – lain dan pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
  2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
  1. Jiwa tumbuh – tumbuhan dengan daya – daya : makan, tumbuh, berkembang biak.
  2. Jiwa binatang dengan daya – daya : gerak, menangkap, Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal – hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala. Rekoleksi yang menyimpan hal – hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
  3. Jiwa manusia dengan daya – daya : Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal – hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
    1. Akal materil yang semata – mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
    2. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
    3. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal – hal abstrak.
    4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal – hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya.
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh – tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manusia yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

Filsafat Jiwa menurut Al-Kindi

Jiwa merupakan unsur utama bagi manusia, bahkan ada yang mengatakan sebagai intisari dari manusia. Kaum filosof muslim memakai kata al-nafs (jiwa) terhadap apa yang diistilahkan Alquran sebagai al-ruh. Kata ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia menjadi nafsu, nafas, dan roh.
Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW tidak menjelaskan secara tegas tentang roh atau jiwa. Bahkan Alquran sebagai sumber pokok ajaran Islam, menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakikat roh karena itu adalah urusan Allah dan bukan urusan manusia.
Sebagaimana jiwa dalam filsafat Yunani, al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar basith (tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar). Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan. Jiwa bersifat rohani dan Ilahi. Sementara itu, jisim (tubuh) mempunyai hawa nafsu dan amarah.
Argumen tentang perbedaan jiwa dengan badan, menurut al-Kindi, jiwa menentang keinginan badan. Apabila nafsu marah mandorong manusia untuk melakukan kejahatan, maka jiwa menentangnya. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa jiwa yang melarang tentu tidak sama dengan badan sebagai yang dilarang.
Dalam hal ini, al-Kindi menolak pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa jiwa manusia sebagaimana benda-benda, tersusun dari dua unsur, yakni materi dan bentuk. Materi ialah badan. Bentuk ialah jiwa manusia. Bentuk atau jiwa tidak bisa mempunyai wujud tanpa materi atau badan, dan begitu pula sebaliknya. Pendapat ini mengandung arti kemusnahan badan membawa kemusnahan jiwa. Namun pendapat al-Kindi dalam masalah ini lebih dekat pada pendapat Plato yang mengatakan bahwa kesatuan antara jiwa dan badan adalah kesatuan accident. Binasanya badan tidak membawa binasanya jiwa. Di sisi lain al-Kindi juga menolak pendapat Plato yang mengatakan bahwa jiwa berasal dari alam ide.

falsafah Emanasi (Al Farabi)

Info filsafat, Al Farabi adalah seorang filosof Muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatip lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Al Farabi mempunyai nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad Ibn Tharkhan ibn Auzalagh al Farabi, atau dikenal juga Abu Nashr, lahir di Wasij, sebuah dusun kecil di distrik kota Farab, provinsi Transoxiana, Turkestan tahun 257 H/890 M. Meski ayahnya keturunan bangsawan Persia, namun keluarga al-Farabi dianggap sebagai orang Turki. Disamping bahasa Sogdia (dialek Turki), juga karena gaya hidup dan kebiasaan kultural mereka mirip orang Turki. 

Pemikiran filsafat al Farabi yang terkenal adalah penjelasan tentang emanasi, atau yang lebih dikenal teori emanasi (al Faidh), yaitu teori yang mengajarkan proses urutan kejadian suatu wujud yang mungkin (bc:alam makhluk) dari zat yang wajib al wujud (bc: Tuhan). Menurutnya, Tuhan adalah akal pikiran yang bukan berupa benda. Segala sesuatu yang ada saat ini adalah ber-manasi (memancar) dari Tuhan, Ilmu Nya menjadi sebab bagi wujud semua yang diketahuiNya.
 
Tuhan itu Esa, karena itu, yang keluar dari padaNya juga tentu harus satu wujud saja. Kalau yang keluar dari zat Tuhan itu terbilang, maka berarti zat Tuhan itupun berbilang pula, hal ini mustahil terjadi. Menurut al Farabi dasar emanasi adalah pemikiran Tuhan dan pemikiran akal-akal yang timbul dari Tuhan mempunyai kekuatan emanasi dan penciptaan. Contohnya, Dalam alam manusia sendiri, apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.

Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini muncul ‘akal-akal’ lain yang terjadi secara serentak, jadi jangan dipahami sebagai proses yang lama, tetapi pahamilah terjadinya degnan proses yang serentak, menjadi serentetan akal akal lainnya. 

Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama (الوجودالأوُل) dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua (الوجوداالثانى) yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama, First Intelligence (العقل الأوُل) yang tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga (الوجودالثالث) disebut Akal kedua, Second Intellegence (العقل الثانى).

Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah akal kedua (Langit Pertama)
Akal Ketiga (bintang-bintang)
Akal Keempat (Saturnus)
Akal Kelima(Jupiter)
Akal Keenam(Mars)
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
Akal Ketujuh (Matahari)
Akal Kedelapan (Venus)
Akal Kesembilan (Mercury)
Akal Kesepuluh (Bulan)

Pada pemikiran Wujud Kesebelas/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akaal-akal. Tetapi dari akal kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur api,udara, air dan tanah.

Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya, yaitu : Gerak, makan nutrisi, Memelihara, Berkembang, Mengetahui, Merasa, Imajinasi, Berpikir, Akal praktis, Akal teoritis (theoritical intllect)